GAR ITB Laporkan Din Syamsuddin karena Dituduh Radikal, Menag dan Menkopolhukam Beri Penjelasan

14 Februari 2021, 05:33 WIB
Din Syamsuddin. /Instagram/@m_dinsyamsuddin.

JURNALPALOPO - Beberapa waktu lalu, Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin dilaporkan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) yang mengatasnamakan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pelaporan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak, bahkan dari lingkungan pemerintahan.

Menko Polhukam Mahfud MD menangggapi perihal pelaporan GAR ITB yang melaporkan Din Syamsuddin yang disebut radikal.

Baca Juga: Pajak PPnBM 0 Persen, Harga New Calya dan Agya Cuma 80 hingga 100 Juta

Mahfud MD mengatakan dengan tegas membantah tudingan yang menyebut Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme.

Sebelumnya, GAR ITB melaporkan Din Syamsuddin karena diduga melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku dengan tuduhan radikalisme.

Mahfud MD menekankan bahwa pemerintah sama sekali tidak pernah menyebut Din Syamsuddin terafiliasi dengan radikalisme.

Melalui akun pribadi miliknya, @mohmahfudmd, Menko Polhukam menuliskan bantahan terhadap tudingan GAR ITB terhadap Din Syamsuddin.

Baca Juga: Liga Inggris: Liverpool Babak Belur 3-1 di Markas Leicester City, Alisson dan Kabak Kompak Blunder

"Pemerintah tidak pernah menganggap Din Syamsuddin radikal atau penganut radikalisme," cuit Mahfud MD dikutip Jurnal Palopo, Minggu, 14 Februari 2021.

"Pak Din itu pengusung moderasi beragama (Wasathiyyah Islam) yang juga diusung oleh Pemerintah," ucapnya.

"Dia juga penguat sikap Muhammadiyah bahwa Indonesia adalah 'Darul Ahdi Wassyahadah'. Beliau kritis, bukan radikalis," ujar Mahfud MD.

Terkait penumpasan Radikalisme, Mahfud MD menjelaskan bahwa Muhammadiyah dan NU merupakan organisasi yang turut menggaungkan bahwa Pancasila sebagai dasar dari NKRI sejalan dengan ajaran pada Islam.

Baca Juga: Warga Kota Palopo, Diringkus Polisi Lantaran Melakukan Penganiayaan dengan Senjata Tajam

Di antara tokoh penguat hal tersebut Mahfud MD menuturkan salah satunya adalah Din Syamsuddin.

"Muhammadiyah dan NU kompak mengkampanyekan bahwa NKRI berdasar Pancasila sejalan dengan Islam. NU menyebut 'Darul Mietsaq', Muhammadiyah menyebut 'Darul Ahdi Wassyahadah'," ucapnya.

"Pak Din Syamsuddin dikenal sebagai salah satu penguat konsep ini. Saya sering berdiskusi dengan dia, terkadang di rumah JK (Jusuf Kalla)," sambungya.

Terkait pihak dari ITB yang datang ke pemerintah membahas persoalan Din Syamsuddin perihal tindakan radikalisme itu, Mahfud MD menyebut pihak pemerintah yang didatangi hanya mendengarkan saja karena itu merupakan aspirasi.

Baca Juga: Gunakan Gel Alami Ini untuk Melembabkan Pipi Anda, Simak Resepnya

Adapun menindaklanjuti laporan tersebut agar dapat diproses, Mahfud MD menegaskan hal itu tidak dilakukan.

Hal itu demikian karena pemerintah sangat tahu betul seperti apa rekam jejak dari seorang Din Syamsuddin.

Pernyataan Mahfud MD tersebut menegaskan bahwa tidak benar dan sungguh salah bila ada pihak yang menyebut pemerintah turut menganggap bahwa Din Syamsuddin seseorang yang radikal.

Sementara itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut juga ikut menanggapi kasus pelaporan terhadap Din Syamsuddin. 

Baca Juga: Fakta Unik Dibalik Rebung, Sayur Bambu yang Jarang Dilirik, Tapi Jadi Komoditi Ekspor di Cina

Menanggapi hal itu, Gus Yaqut meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok.

Penyematan predikat negatif tanpa dukungan data dan fakta yang memadai berpotensi merugikan pihak lain.

“Kita harus seobjektif mungkin dalam melihat persoalan, jangan sampai gegabah menilai seseorang radikal misalnya,” ujar Menag Yaqut di Jakarta, Sabtu, 13 Februari 2021, seperti dikutip dari laman resmi Kemenag.

Stigma atau cap negatif, menurut Gus Yaqut, seringkali muncul karena terjadinya sumbatan komunikasi.

Baca Juga: Bayern Munchen Resmi Mendapatkan Dayot Upamecano dari RB Leipzig

Untuk itu, menciptakan pola komunikasi yang cair dan dua arah adalah sebuah keniscayaan, lebih-lebih di era keterbukaan informasi saat ini.

Stigma radikal juga bisa jadi muncul karena seseorang kurang memiliki informasi dan data yang memadai terhadap sikap atau perilaku orang lain.

"Dengan asumsi itu, maka klarifikasi atau tabayyun adalah menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan dalam kerangka mendapat informasi valid,” ucapnya.

Dengan model tabayyun ini, maka hakikatnya seseorang atau kelompok juga akan terhindar dari berita palsu atau hal-hal yang bernuansa fitnah.***

 

Editor: Gunawan Bahruddin

Sumber: PR Bekasi Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler