Kondisi ini menyulitkan para pembela lingkungan yang memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang terbatas dalam melakukan advokasi dan menuntut penegakan hukum lingkungan.
Rentan ancaman dan represi
Sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan, para aktivis dan pembela lingkungan, bahkan jurnalis, sudah rentan mendapatkan ancaman karena mengungkap isu-isu eksploitasi sumberdaya alam di seluruh penjuru Tanah Air.
Selama tahun 2019, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) mencatat setidaknya ada 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela lingkungan di 14 provinsi atau 27 kabupaten/kota.
Ini meliputi sektor agraria (17 kasus), pertambangan (6 kasus), infrastruktur (3 kasus) dan pariwisata (1 kasus).
Baca Juga: Ungkap Kepribadian Anda dengan Memilih Rumah yang paling Anda Sukai
Sementara, jumlah korban mencapai 128 orang, mayoritas petani (32 orang) dan masyarakat adat (12 orang).
Misalnya, tewasnya aktivis dan pengacara dari NGO lingkungan hidup WALHI, Golfrid Siregar, di Medan, Sumatra Utara pada tahun 2019.
Sebelum meninggal, ia sedang aktif melakukan gugatan hukum atas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Pembangunan ini mengundang kontra keras dari masyarakat sipil karena berpotensi merusak habitat orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), salah satu spesies langka di dunia.
Baca Juga: Pembuat bom al-Qaeda Pakistan tewas Dalam Operasi Keamanan di Afghanistan