Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya. Perbedaan pendapat ini muncul karena adanya perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis mengenai Aqiqah.
Sebagian ulama yang menyatakan bahwa hukum aqiqah adalah wajib dan ada pula ulama yang menyatakan hukumnya sunah muakkadah (sangat utama).
Bagi ulama yang menyatakan aqiqah bersifat waib, mereka beralasan bahwa orang tua merupakan pihak yang menanggung nafkah si anak.
Mereka mengambil dasar hukumnya dari hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi yang berbunyi: “Anak yang baru lahir itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan pada hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Baca Juga: PSM Full Tim Hadapi Bali United di Babak Play OFF LCA, Suporternya Malah Dilarang Hadir
Sementara itu, ulama seperti Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa Aqiqah hukumnya sunah muakkadah mengacu pada hadis yang berbunyi: “Barang siapa di antara kamu ingin bersedekah buat anaknya, bolehlah ia berbuat.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai).
Kemudian, ulama seperti Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunah, melainkan termasuk ibadah yang berisfat sukarela.
Pendapat ini dilandaskan kepada hadis yang berbunyi: Aku tidak suka sembelih-sembelihan (akikah). Akan tetapi, barang siapa dianugerahi seorang anak, lalu dia hendak menyembelih hewan untuk anaknya itu, dia dipersilakan melakukannya. (HR Al-Baihaki).