3 Alasan Presiden Jokowi Mengalami Krisis Kepercayaan dari Masyarakat

8 November 2020, 10:36 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi). //Instagram.com/jokowi /

JURNALPALOPO - Setahun lebih Joko Widodo (Jokowi) menduduki kursi kepresidenan di periode kedua. Dan itu merupakan tahun pertama yang berat bagi manta gubernur DKI Jakarta itu.

Hal ini dikarenakan Jokowi menghadapi permasalahan global yang sangat berat termasuk harus berhadapan dengan pandemi Covid-19.

Tidak hanya itu, beberapa bulan kemudian Jokowi juga menjadi sasaran kritik keras atas keputusannya dalam mendukung pengesahan Undang Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial.

 Baca Juga: Nikmati Makan Kenyang dan Hemat Dengan ShopeePay Deals Rp1

Aksi demo di berbagai daerah menuntut pembatalan pengesahan UU Cipta Kerja tersebut. Para pengunjuk rasa berasal dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa dan kelompok pekerja.

Beberapa survei mengenai kinerja Presiden pada tahun pertama menunjukkan kepercayaan publik terhadap Jokowi menurun.

Salah satunya Survei tersebut menunjukkan persentase orang-orang yang puas dengan kinerja Jokowi turun menjadi kurang dari 40 persen pada Oktober.

Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada masa jabatan pertamanya, ketika kepercayaan publik mencapai lebih dari 70 persen.

 Baca Juga: Bahlil Lahadalia Pastikan UU Cipta Kerja Berikan Kemudahan untuk Pelaku UMKM

Dilansir dari The Conversation, menurut Dosen Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII), Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Peneliti di Institut Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), Media Wahyudi Askar, ada tiga alasan utama meningkatnya kekecewaan publik terhadap Jokowi.

Gagal melindungi masyarakat Indonesia dari COVID-19

Setelah mengumumkan kasus COVID-19 pertama pada 2 Maret 2020, Indonesia kini memiliki angka kematian tertinggi di Asia Tenggara.

Per 3 November 2020, Indonesia tercatat memiliki 415.402 kasus COVID-19, tertinggi di Asia Tenggara dan peringkat ke-19 di dunia.

 Baca Juga: Pemerintah Lanjutkan Penyaluran Bansos di 2021, Begini Cara Daftar dan Cek Penerima Bantuan

Hal ini menunjukkan penanganan pandemi yang buruk oleh pemerintah Indonesia. Alasan utamanya adalah pemerintah lebih memprioritaskan ekonomi daripada kesehatan rakyat.

Alih-alih mengalokasikan sumber daya ke sektor kesehatan ketika virus pertama kali menyerang, pemerintah justru mengalokasikan hampir Rp300 miliar di sektor pariwisata untuk menangkal dampak negatif dari wabah virus corona.

Inisiatif yang bertujuan menarik lebih banyak turis asing itu akhirnya ditunda karena tekanan dari masyarakat.

Dalam keputusan yang kontroversial, Kementerian Badan Usaha Milik Negara meminta karyawannya yang berusia di bawah 45 tahun untuk tetap kembali bekerja di kantor pada 25 Mei.

 Baca Juga: Nadiem Beri Isyarat Pembelajaran Tatap Muka, Walikota Palopo: Pemerintah Belum Berani Beri Izin

Kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya melonggarkan kebijakan lockdown parsial, terutama untuk sektor bisnis.

Pemerintah juga mengizinkan 500 pekerja Tiongkok untuk masuk ke Indonesia guna melanjutkan pekerjaan proyek Tiongkok di Indonesia.

Keputusan ini, menurut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, akan membantu pemulihan perekonomian negara.

Semua keputusan tersebut dilakukan saat Indonesia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menangani Covid-19.

Baca Juga: Cara Merawat Tanaman Keladi Agar Subur dan Menawan, Diantaranya Potong Daun Mati

Sampai hari ini, Indonesia masih memiliki fasilitas dan staf medis terbatas untuk menangani pasien Covid-19.

Ironisnya, meski upaya penyelamatan ekonomi dilakukan dengan mengorbankan kesehatan masyarakat, ekonomi Indonesia tetap tak terselamatkan akibat hantaman pandemi.

Indonesia resmi mengalami resesi setelah mengalami penurunan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini.

Gagal mendengarkan keprihatinan masyarakat

Baca Juga: Masih Lebih Sedikit dari Tahun Lalu, Volkswagen Tetap Menikmati Pemulihan dari Dampak Covid-19

Pertama, Presiden belum mendengarkan imbauan dari organisasi agama dan kelompok masyarakat sipil untuk menunda pemilihan kepala daerah.

Meskipun ada kekhawatiran bahwa pemilihan kepala daerah akan memperburuk penyebaran Covis-19, Jokowi tetap memutuskan untuk melanjutkan pemilihan di 270 daerah pada Desember.

Argumen utamanya adalah bahwa pemilu itu penting untuk menjaga agar roda perekonomian terus berputar.

Kedua, Jokowi seakan menutup telinga atas tuntutan masyarakat untuk menghentikan pengesahan RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Suga BTS Absen dalam Peluncuran Promo Album Baru, Usai Jalani Operasi Labrum Bahu

Sebaliknya dia dan anggota parlemen diam-diam mengeluarkan undang-undang yang dikritik karena mengorbankan tenaga kerja dan lingkungan demi mengutamakan kepentingan investor.

Masyarakat dari semua lapisan turun ke jalan meminta pemerintah mencabut undang-undang tersebut.

Namun, mereka justru mendapatkan serangan gas air mata oleh angkatan bersenjata.

Mengkriminalisasi kritik

Baca Juga: Sedang Asyik Nyapu, Seorang Ibu Nemu 'Harta Karun Haram' di Halaman Rumahnya

Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk adalah pemerintahan Jokowi telah mengambil langkah-langkah tidak demokratis untuk membungkam para pengkritiknya. Beberapa bahkan telah ditangkap.

Salah satunya adalah Ravio Patra, peneliti independen dan pemerhati pengelolaan data dan informasi pemerintah, yang ditangkap atas tuduhan menyebarkan informasi palsu setelah mengkritik pemerintah di Twitter.

Pemerintah juga berencana untuk menutup akun media sosial yang mengkritik pemerintah dan mencapnya sebagai penyebar hoaks.

Tidak hanya itu, pemerintah juga memutuskan untuk menghukum siswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi menentang Omnibus Law dengan mempersulit pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) serta diberikan catatan khusus dalam surat keterangan tersebut.

Baca Juga: BLT Subsidi Upah/Gaji, Mungkin Ini Penyebab Anda Belum Menerimanya

Hal ini akan membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan.

Apa langkah selanjutnya

Dengan penjelasan di atas, Jokowi harus memikirkan kembali bagaimana dia menangani Covid-19 dan protes publik.

Jika tidak, dia kemungkinan akan menghadapi reaksi keras dari masyarakat, yang mungkin akan membuat dirinya kehilangan posisinya sebagai presiden.

Baca Juga: Mahfud MD Balas Cuitan Fadli Zon, FPI Tuding Kepolisian akan Menkriminalisasi Habib Rizieq

Respons keras dan represif dari pemerintah terhadap kritik publik diperkirakan akan menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Jokowi sebagai pemimpin negara ini.

Jokowi harus belajar dari sejarah, terutama dari kejatuhan Presiden Suharto pada 1998, setelah mendapat penolakan keras dari rakyat.

Hari ini, Jokowi menghadapi situasi yang mirip dengan hari-hari terakhir Suharto tahun 1998.

Jokowi harus mengambil langkah konkret untuk mulai mendengarkan protes dan tuntutan rakyat, atau dia mungkin mengambil risiko kehilangan jabatannya seperti Suharto.***

Editor: Gunawan Bahruddin

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler