Nyaman Tinggal di Kompleks Piala Dunia, Pengungsi Afghanistan Khawatirkan Keluarga

5 September 2021, 15:34 WIB
Meski kini nyaman berada di kompleks Piala Dunia Qatar, namun pengungsi Afghanistan tetap khawatirkan keluarga /Kolase /Ardilla/

JURNAL PALOPO- Ibukota Qatar, Doha, telah menjadi titik transit utama bagi para pengungsi yang kabur setelah Taliban menguasai Afghanistan. 

"Di rumah, kami tidak punya fasilitas seperti ini," Ahmad Wali Sarhadi, 28 tahun, berkomentar tentang fasilitas seperti AC dan TV layar datar yang diterimanya tatkala menempati kompleks perumahan Piala Dunia 2022 Park View Villages, Doha. 

Dia adalah seorang jurnalis yang tiba beberapa hari yang lalu, dan merupakan salah satu dari sekitar 600an pengungsi, sebagian besar jurnalis, yang menempati kompleks tersebut. 

Baca Juga: Jadi Kamp Pengungsi Afghanistan, Kompleks Piala Dunia Qatar Dikunjungi Presiden FIFA

Meski merasa nyaman tinggal di kamar bersih dengan fasilitas lengkap yang ditempatinya bersama dengan Khalid Andish, 24 tahun, Sarhadi mengaku tidak bisa tidur di malah mari lantaran mengkhawatirkan keluarganya di rumah. 

Pil antidepresi telah menguasai emosinya, dan dia mengungkapkan pengalamannya dalam kalimat yang cepat, dan kata-kata yang mengalir dengan konstan. 

Situasi baru yang dihadapi Sarhadi terasa sulit dibayangkan. Akhir Agustus lalu, dia masih berada di Kandahar, sebuah kota di Afghanistan selatan, bersama istri dan lima orang anaknya yang berusia antara 2-13 tahun. 

Karena bekerja di kelompok yang dibiayai Amerika, juga sebagai jurnalis, dia mengaku berada dalam daftar target Taliban selama 2,5 tahun. Bahkan ketika sudah tinggal aman di Qatar, dia masih seperti seorang buronan. 

Baca Juga: Bandara Hamid Karzai di Kabul Afghanistan Kembali Dibuka, Qatar Siap Gelontorkan Bantuan

"Saat kami mendengar mereka sudah turun ke jalan, ada tembok setinggi 2 meter di rumahku, aku melompatinya," ceritanya yang dikutip Jurnal Palopo dari Aljazeera. Dia pun kabur. 

Di jalan, saat mencari taksi untuk membawanya ke Kabul, Sarhadi menelepon istrinya dan memintanya tidak memberitahu siapapun meski saat istrinya tersebut menangis. 

"Aku memakai surban agar terlihat seperti anggota Taliban," agar tidak terseteksi, tambahnya, "aku mencoba menelepon keluargaku, tapi tidak sambung." 

Sesampainya di ibukota, dia datang ke bandara jam 7 pagi setiap hari, berharap dapat mencapai gerbang.

Baca Juga: Taliban Klaim Kuasa Lembah Panjshir, Kelompok Perlawanan Afghanistan Membantah

Berkat kontak yang dimilikinya di Komite Perlindungan Jurnalis, namanya akhirnya disampaikan ke orang Qatar, yang kemudian dapat membantunya terbang pergi. 

Andish, yang bekerja di stasiun radio lokal di Kabul, mengaku mengetahui bahwa dirinya ada dalam daftar target Taliban sebelum akhirnya berhasil kabur ke Qatar. 

Dia tidak punya istri maupun anak. Namun dia punya saudara laki-laki dan perempuan yang tak ditau kabarnya sejak dia kabur pada 15 Agustus lalu. 

"Mereka dalam bahaya," ujar Andish. "Mereka bisa menarget keluargaku jika tidak menemukanku." 

Baca Juga: Pendiri Taliban Mullah Baradar, Akan Pimpin Pemerintah Afghanistan yang Baru

Dia memiliki ambisi "melayani negaraku sebagai seorang jurnalis, aktivis sosial, guru, dan pelatih jurnalis", namun dia menambahkan, "untuk saat ini, tak ada harapan bagiku untuk kembali ke Afghanistan." 

Memegang telepon pintar di tangan kiri yang jari-jarinya hancur oleh bom Taliban lebih dari sepuluh tahun lalu, Sarhadi menunjukkan sebuah gambar. Foto selfie anak perempuan kecilnya yang sedang tersenyum memenuhi layar.  

Sarhadi berpikir tidak ada siapapun yang peduli pada mereka kecuali Qatar. Beberapa minggu lalu dia menolak tawaran kuliah master bidang jurnalistik di India. 

"Harus punya sokongan dana," katanya. "India tidak mampu menyokong rakyatnya sendiri, bagaiman bisa mereka membantuku?" 

Baca Juga: Mengenal Sayed Sadaat, Menteri Afghanistan yang Kini Jadi Kurir di Jerman

Meskipun penghuni kompleks Piala Dunia lain berharap memperoleh suaka di Irlandia, Irak, Rwanda, Amerika, atau Inggris, tidak terpikirkan oleh Sarhadi di mana dia akan berakhir. 

"Aku tidak tahu siapa yang akan menerimaku sebagai seorang pengungsi," katanya. 

Selain ransel, telepon pintar, dan komputer, satu-satunya barang berharga yang berhasil diselamatkannya dari Kandahar adalah segepok kartu identitas dan bukti kualifikasi. Harta berharganya itu didesalkan dalam kantung plastik. 

"Secara fisik, aku berada di Doha, Qatar. Tapi secara mental, aku ada di Afghanistan bersama keluargaku," Sarhadi melanjutkan. 

Baca Juga: Ekonomi Afghanistan Memburuk, Taliban Bersiap Umumkan Pemerintahan Baru

"Aku takut sesuatu akan terjadi pada mereka. Aku seperti orang mati."***

Editor: Naswandi

Tags

Terkini

Terpopuler