JURNALPALOPO.COM- Di era 80-an dan 90-an, dunia sepakbola dikejutkan munculnya maestro lapangan dengan rambut gimbal.
Ruud Gullit, legenda Belanda yang tak hanya memesona dengan gaya rambut, tapi dengan permainan sepakbola yang revolusioner.
Lahir di Amsterdam tahun 1962, Gullit mulai karirnya di Feyenoord, di mana ia tunjukkan bakat luar biasa sebagai gelandang serang.
Baca Juga: Regulasi Baru Bolehkan 8 Pemain Asing, Alberto Rodriguez Malah Enggan Bertahan di Persib Bandung?
Dengan rambut gimbalnya yang panjang dan gaya bermainnya yang penuh flair, Gullit bagaikan rockstar di lapangan.
Puncak kejayaan Gullit datang bersama AC Milan di akhir era 80-an.
Dia Bersama Marco van Basten dan Frank Rijkaard, mereka membentuk "Trio Belanda".
Trio menakutkan itu mengantarkan AC Milan meraih berbagai gelar bergengsi, termasuk dua Liga Champions.
Baca Juga: 5 Top Asisst Sepakbola Terbaik Sepanjang Masa, Si 'Anak Emas' FIFA Paling Dominan
Gullit terkenal dengan kepiawaiannya dalam menguasai bola, visi yang luar biasa, dan kemampuan mencetak gol yang fantastis.
Ia bisa bermain di berbagai posisi dengan sama baiknya, dan terkadang ia bahkan dijuluki "pemain ke-12" karena kemampuan mengubah jalannya pertandingan.
Gullit tak hanya bersinar di level klub, tapi juga di timnas Belanda.
Ia menjadi kapten timnas Belanda yang menjuarai Piala Eropa 1988, dan terpilih sebagai Pemain Terbaik Dunia di tahun 1987 dan 1989.
Baca Juga: Pecahkan Rekor De Rossi, Sergio Ramos jadi Raja Kartu Kuning Terbaik Sepanjang Masa
Gullit pensiun dari sepak bola pada tahun 1998, meninggalkan jejak sebagai salah satu pemain terbaik di generasinya.
Ia tak hanya dikenang sebagai legenda sepak bola, tetapi juga sebagai ikon budaya populer yang menginspirasi banyak orang dengan gaya rambut dan kepribadiannya yang unik.
Gaya permainannya yang revolusioner menginspirasi banyak pemain muda untuk berani menunjukkan bakat mereka dengan cara yang berbeda.
Rambut gimbalnya yang ikonik menjadi simbol pemberontakan dan kebebasan di dunia sepakbola.
Kepemimpinan di lapangan dan dedikasinya untuk sepakbola menjadikannya panutan bagi banyak pemain muda.
Gullit juga sering mendapatkan kartu kuning dan merah karena tekel keras dan perilakunya yang temperamental.
Pada tahun 1988, ia dikeluarkan dari lapangan setelah menendang pemain Sampdoria, Gianluca Pagliuca, pada wajah.
Pada tahun 1993, ia menanduk wasit pertandingan Chelsea-Manchester United, Graham Poll, setelah menerima kartu merah.
Baca Juga: Zico Sang Legenda Sepak Bola Brasil yang Tak Terlupakan, Si Raja Assit tanpa Gelar Piala Dunia
Gullit juga terkenal dengan sikap yang blak-blakan dan sering mengkritik media secara terbuka.
Pada tahun 1987, ia menyebut wartawan "bajingan" dalam sebuah konferensi pers.
Pada tahun 1996, ia didenda oleh FA karena komentarnya tentang wasit Premier League.
Keputusan Gullit untuk meninggalkan AC Milan dan bergabung dengan Chelsea pada tahun 1992 dianggap sebagai pengkhianatan oleh banyak fans AC Milan.
Ia dikritik karena lebih memilih mengejar karir kepelatihan daripada bermain sepak bola di akhir karirnya.***