3 Dampak Mengerikan dari UU Cipta Kerja Kepada para Aktivis Lingkungan dan HAM

- 11 November 2020, 16:53 WIB
aktivis lingkungan dan HAM semakin tidak berkutik dengsn disahkannya UU Cipta Kerja
aktivis lingkungan dan HAM semakin tidak berkutik dengsn disahkannya UU Cipta Kerja /

JURNALPALOPO - Awal Oktober lalu, Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan mendapat pertentangan dari berbagai kalangan.

Ini dikarenakan banyaknya pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja yang merugikan masyarakat banyak, termasuk di bidang lingkungan.

Paradigma Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menempatkan upaya perlindungan lingkungan hidup sebagai ancaman dan hambatan bagi percepatan investasi di Indonesia.

Baca Juga: Pejuang Masa Pandemi, Semua Orang Berperan Menekan Laju Penyebaran Covid-19

Oleh karena itu, pasal-pasal dalam UU yang kontroversial terlihat lebih memihak pada investor dengan menyederhanakan izin untuk investasi dan mengorbankan upaya perlindungan lingkungan hidup.

Tidak hanya merusak lingkungan, UU Cipta Kerja juga berpotensi membahayakan para pembela lingkungan dilansir dari The Conversation.

UU Cipta Kerja tidak hanya membungkam suara para aktivis pembela lingkungan tapi juga mengancam keselamatan mereka.

Dari segi hukum, Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan yang menjamin dan melindungi kerja para pembela lingkungan, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Baca Juga: Enneagram Kuno akan Mengungkapkan Rahasia Detail tentang Kepribadian Anda

Pasal 66 UU tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Ada juga Keputusan Ketua Mahkahmah Agung tahun 2013 yang mengatur agar para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup bersifat progresif, subtantif dan humanis.

Namun, faktanya para pembela lingkungan selalu mengalami kekerasan fisik dan kriminalisasi baik secara pidana maupun secara perdata.

Kehadiran UU Cipta Kerja yang merupakan draconian law, yaitu hukum yang lebih dirasakan sebagai represi, penyingkiran hak-hak, dan lebih mementingkan kuasa pembentuknya, diharapkan memperparah upaya perlindungan bagi pembela lingkungan.

Baca Juga: Penulis ‘Suspicious Partner’ sedang Dalam Perbincangan dengan Aktor Kim Seon Ho untuk Drama Baru

Setelah disahkannya UU Cipta Kerja 2020, perlindungan terhadap pembela lingkungan akan semakin lemah, terutama karena:

1) Menguatnya impunitas bagi perusahaan

UU Cipta Kerja dirancang agar korporasi atau perusahaan memiliki ‘imunitas’.

Artinya, perusahaan yang terbukti merusak lingkungan atau bahkan terlibat dalam pengerahan preman, akan semakin jarang dimintakan pertanggungjawaban di hadapan hukum.

Baca Juga: Way Crayon Pop Mengungkapkan Hubungan Anggota Grup K-Pop Wanita, Way: Hubungan Mereka Bisnis

Sebagai contoh, para pembela lingkungan akan semakin sulit membawa korporasi terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan (karhutla) ke meja hijau.

2) Hilangnya peran publik

Dalam UU Cipta Kerja, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak menjadi dasar izin Lingkungan, melainkan hanya dokumen administratif belaka.

Selain itu, Komisi Penilai AMDAL menjadi Tim Uji Kelayakan yang tidak melibatkan peran masyarakat setempat, organisasi lingkungan serta kalangan akademisi.

Baca Juga: Raja Spoiler: V Kembali Melanggar Aturan dengan Memposting Konten 2021 Mendatang

Hilangnya peran publik akan menambah konflik yang baru dan berpotensi meningkatkan risiko intimidasi, ancaman kriminalisasi, hingga kekerasan bagi masyarakat yang terkena dampak.

3) Terbatasnya institusi perlindungan bagi aktivis

Institusi ketatanegaraan seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM berfungsi secara terbatas sebagai pengawas kekuasaan.

Selain tak leluasa menggunakan wewenang hukum, kedua lembaga ini memiliki pendanaan sangat terbatas untuk bisa menjalankan fungsi mereka secara maksimal.

Baca Juga: UN Diganti AN di 2021, Menteri Nadiem Minta Guru tidak Stres Hadapi Asesmen Nasional

Kondisi ini menyulitkan para pembela lingkungan yang memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang terbatas dalam melakukan advokasi dan menuntut penegakan hukum lingkungan.
Rentan ancaman dan represi

Sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan, para aktivis dan pembela lingkungan, bahkan jurnalis, sudah rentan mendapatkan ancaman karena mengungkap isu-isu eksploitasi sumberdaya alam di seluruh penjuru Tanah Air.

Selama tahun 2019, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) mencatat setidaknya ada 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela lingkungan di 14 provinsi atau 27 kabupaten/kota.

Ini meliputi sektor agraria (17 kasus), pertambangan (6 kasus), infrastruktur (3 kasus) dan pariwisata (1 kasus).

Baca Juga: Ungkap Kepribadian Anda dengan Memilih Rumah yang paling Anda Sukai

Sementara, jumlah korban mencapai 128 orang, mayoritas petani (32 orang) dan masyarakat adat (12 orang).

Misalnya, tewasnya aktivis dan pengacara dari NGO lingkungan hidup WALHI, Golfrid Siregar, di Medan, Sumatra Utara pada tahun 2019.

Sebelum meninggal, ia sedang aktif melakukan gugatan hukum atas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.

Pembangunan ini mengundang kontra keras dari masyarakat sipil karena berpotensi merusak habitat orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), salah satu spesies langka di dunia.

Baca Juga: Pembuat bom al-Qaeda Pakistan tewas Dalam Operasi Keamanan di Afghanistan

Pada tahun yang sama, kasus pembakaran rumah dari Murdani, direktur organisasi lingkungan hidup independen, WALHI, di Nusa Tenggara Barat (NTB), yang saat itu aktif menyuarakan penolakan tambang pasir.

Di kalangan jurnalis, ada kasus pembunuhan Ardiansyah Matra’is, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV, di Merauke, Papua, tahun 2010.

Atau, kasus penganiayaan berat terhadap Ahmadi, wartawan Harian Aceh oleh Pasi Intel KODIM 0115 Simeulue di Makodim Simuelue, pada tahun yang sama.

Kedua jurnalis tersebut aktif melakukan liputan soal pembalakan liar di daerah masing-masing.

Baca Juga: Perdana Menteri Ethiopia sedang Diuji, Perang Saudara Bisa Saja Terjadi

Sekalipun Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menekankan perlindungan HAM dan lingkungan dalam kebijakannya, namun kebijakan itu diarahkan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ramah investasi dan tidak menabrak prioritas ekonomi Indonesia.

Dengan kata lain, Jokowi menegakkan HAM yang berbasis pasar.

Kepentingan pemodal, investasi, dan perdagangan bebas menjadi lebih dominan mempengaruhi orientasi kebijakannya yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu turunan produk hukumnya adalah UU Cipta Kerja yang juga membuka peluang serangan terhadap pembela lingkungan.***

Editor: Gunawan Bahruddin

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah