Luwu Utara dalam Catatan Akhir Tahun 2019 Walhi Sulawesi Selatan

4 Agustus 2020, 12:55 WIB
Catatan akhir tahun 2019 Walhi Sulsel. / /Walhi Sulsel

JURNALPALOPO.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah merilis catatan akhir tahun 2019.

Berjudul ‘Degradasi lingkungan dan bencana ekologis di Sulawesi Selatan’, WALHI Sulawesi Selatan juga menjelaskan tentang wilayah Kabupaten Luwu Utara (Lutra).

Sebagai informasi, pada Juli 2019 lalu, Pemkab Lutra telah menerima SK peta perubahan kawasan hutan yang mengatur mengenai kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, sampai penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan.

Baca Juga: Pasca Banjir Bandang, Progres Pembersihan Kota Masamba Capai 65 Persen

SK tersebut diserahkan oleh Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Hidup didampingi Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, Senin 19 Agustus 2019 lalu.

Sebelumnya pada 28 Mei 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, dan perubahan fungsi kawasan hutan di Sulawesi Selatan.

Total lahan yang disusulkan Pemprov Sulsel adalah 300.000 Ha, Namun KLHK hanya mengakomodir sekitar 90.000 Ha luas kawasan hutan untuk dilepas atau dialihfungsikan.

Luas perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi mencapai 9.878,02 Ha. Sedangkan perubahan hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas mencapai 10.908,44 ha.

Baca Juga: Peduli Relawan Banjir Luwu Utara, Tim Gugus Tugas Covid-19 Siapkan Rapid Test Gratis

Kebijakan ini tentu berkaitan dengan upaya pemerintah untuk membangun proyek infrastruktur serta menarik investasi. Dengan kebijakan ini maka perizinan dalam berinvetasi akan lebih mudah.

Dengan adanya kebijakan tersebut, perusakan hutan akan semakin meningkat seiring dengan ancaman bencana ekologis yang juga semakin meningkat.

Dikutip dari Smartcitymakassar, pelepasan dan alih fungsi kawasan hutan dengan dalil untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan menjadi tidak relevan. Sebab, saat ini telah ada kebijakan perhutanan sosial.

Jika tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan, maka pendampingan dan percepatan realisasi perhutanan sosial seharusnya menjadi agenda yang lebih tepat.

Baca Juga: Ikut Membantu Korban Banjir Luwu Utara, Ini yang Dilakukan Pejuang Ketahanan Pangan

Sepanjang tahun 2019, belum ada upaya yang berarti dari Pemprov Sulsel dalam upaya mitigasi bencana di berbagai wilayah.

Kajian WALHI Sulsel terhadap data tutupan lahan dari KLHK menunjukan bahwa tutupan hutan Sulawesi Selatan saat ini hanya berkisar 1.360.418,15 Hektar atau 25,5% dari total luas wilayah Sulawesi Selatan.

Tutupan tersebut mencakup hutan tanaman, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa sekunder, hutan primer, dan hutan sekunder.

Bencana ekologis banjir dan tanah longsor sangat erat kaitannya dengan kondisi tutupan hutan di daerah aliran sungai.

Baca Juga: Press Conference BNPB Terkait Bencana Banjir Bandang Luwu Utara

Hutan berfungsi untuk membuat proses infiltasi air ke dalam tanah. Hutan berfungsi untuk mengurangi laju sedimentasi yang dapat mengurangi daya tampung sungai. Hutan juga berfungsi menjaga kestabilan iklim mikro suatu wilayah.

Menurut Walhi Sulsel terkait Lutra

Menurut WALHI Sulsel, dimasa kepemimpinan Prof. Nurdin Abdullah sebagai Gubernur Sulawesi Selatan ada beberapa program pembangunan infrastruktur yang telah dilaksanakan dan akan direncanakan.

Namun, dari sekian proyek infrastruktur tersebut, WALHI Sulsel menemukan ada dua proyek pembangunan infrastruktur yang berpotensi menimbulkan bencana ekologis.

Baca Juga: Curah Hujan Tinggi, Air kembali Menggenangi Masamba, Luwu Utara, Setinggi Lutut

Keduanya adalah pembangunan jalan poros Sabbang-Seko di Kabupaten Luwu Utara (Lutra) dan Pembangunan infrastruktur kawasan pariwisata danau tempe di Kabupaten Wajo.

Kabupaten Luwu Utara memiliki wilayah seluas 7.502,58 Km², yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Kabupaten Toraja Utara, Luwu dan Luwu Timur.

Dengan luas tutupan hutan mencapai 487.235,13 Ha, menempatkan Kabupaten Luwu Utara sebagai kabupaten yang memiliki hutan terluas di Provinsi Sulawesi Selatan setelah Kabupaten Luwu Timur.

Dari hasil riset WALHI Sulsel pada tahun 2019 di Lutra menemukan beberapa hal penting terkait relasi antara hutan dan masyarakat antara lain:

Baca Juga: Pasca Banjir, Perekonomian Luwu Utara Mulai Normal, IDP: Kita Terbantu Oleh Volunteer dan Warga

  1. Hutan sebagai arena produksi masyarakat dalam hal pangan, kayu, dan hasil hutan non kayu
  2. Hutan sebagai sumber mata air
  3. Hutan sebagai arena reproduksi budaya, dan
  4. Hutan sebagai benteng ekologis masyarakat dari bencana banjir maupun longsor

Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat Luwu Utara bergantung pada kelestarian.

Namun demikian, kelestarian hutan di Kabupaten Luwu Utara saat ini menunjukkan tren penurunan (WALHI Sulsel, 2019).

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan kelestrarian hutan di Luwu Utara adalah program pembangunan infrastruktur jalan ‘segitiga emas’.

Baca Juga: Indah Putri Indriani (IDP), Resmikan 40 Shelter Pengungsi di Wilayah Kampal, Luwu Utara

Infrastruktur ini menghubungkan wilayah Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Utamanya jalan poros kecamatan Sabbang menuju ke Kecamatan Seko.

Hasil riset WALHI Sulawesi Selatan pada 2019 lalu menunjukkan bahwa dampak dari pembangunan infrastruktur jalan Sabbang-Seko telah membuka kesempatan terjadinya illegal loging, jual beli tanah untuk perkebunan skala luas, dan munculnya klaim kepemilikan lahan di kawasan.

secara tidak langsung hal ini menjadi penanda penurunan kelestarian hutan yang berdampak langsung pada fungsi ekologis hutan sebagai pengatur hidrologi, pencegah terjadinya banjir dan tanah longsor.

Hal ini dikuatkan dengan adannya bencana yang terjadi di Lutra. Meluapnya sungai Baliase dan Rongkong menyebabkan banjir di Kecamatan Sukamaju, Masamba, Baebunta, Sabbang, Malangke, dan Malangke Barat.

Baca Juga: BBPJN Bina Marga Makassar, Akan Bangun Jembatan Bailey untuk Hubungkan 5 Desa di Luwu Utara

Berdasarkan hasil analisa sementara Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK mengatakan, ada dua faktor penyebab banjir bandang, yakni, alam dan manusia.

“Faktor manusia, ada pembukaan lahan di hulu DAS Balease dan penggunaan lahan masif berupa perkebunan sawit,” kata Yuli Utami, Kasubdit Kelembagaan DAS, Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai KLHK.

Sementara itu M.Rokhis Khomarudin, Kepala Pusat Penginderaan Jarak Jauh Lapan menyebutkan, hasil analisis tutupan lahan di DAS Baliase, Rongkong dan Amang Sang An dengan citra landsat 2010-2020 menunjukkan ada penurunan hutan primer sekitar 29.000 hektar. Juga terjadi peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 hektar dan lahan perkebunan sekitar 2.261 hektar.

Menurut catatan akhir tahun 2019 WALHI Sulsel, meskipun jumlah DAS di Sulawesi Selatan lebih banyak (101 DAS) yang mesti segera dipulihkan (tutupan hutannya kurang dari 30%), Namun masih ada 38 DAS yang kondisi tutupan hutannya di atas 30% sehingga harus dijaga oleh semua pihak, termasuk DAS Rongkong dan Baliase.***

 

Editor: Gunawan Bahruddin

Sumber: WALHI Sulsel

Tags

Terkini

Terpopuler