JURNAL PALOPO - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap populer bagi masyarakat Indonesia bahkan setelah mendapat kritikan bertubu-tubi.
Jokowi dikritik lantaran kebebasan berbicara dan kinerja ekonomi di masa jabatannya tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
Kepopuleran Jokowi hampir mencaapi 70 persen, lebih tepatnya di angka 68, 5 persen menurut survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Sementara dari survei Indikator Politik Indonesia, Jokowi mendapat 58 persen untuk tingkat kepuasan publik.
Menurut peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Edbert Gani, kondisi politik, hukum dan situasi keamanan yang cenderung memburuk, tidak tercermin dalam pandangan publik terhadap Jokowi.
Tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi relatif tinggi pada saat ini jika dibandingkan dengan pendahulunya. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selama dua periode menjabat, SBY hanya mendapat 46,2 persen tingkat kepopuleran pada Oktober 2011 menurut lembaga survei LSI Indonesia.
Menurut Ujang Komarudin, seorang ilmuwan politik di Universitas Al-Azhar Indonesia mengatakan sulit menentukan seberapa objektif survei dalam mengukur suasana hati publik dan kepuasannya atas kinerja pemerintah pusat.
Ujang Komaruddin mengungkapkan, orang takut berbicara karena iklim politik Indonesia yang cenderung represif.
Menurut Ujang, kebebasan berdemokrasi di Indonesia telah menurun dalam beberapa tahun terakhir di bawah kepemimpinan Jokowi.
“Ketika orang-orang dikritik, mereka dituduh menghina presiden. Ruang untuk berekspresi ditekan dan ini tidak boleh terjadi di negara demokrasi,” katanya dikutip dari Benarnews.
Firman Noor, seorang analis politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sebuah lembaga negara, sependapat.
“Masyarakat sekarang semakin takut untuk angkat bicara. Ini situasi yang menurut saya gagal ditangkap oleh survei publik,” kata Firman.
Adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) membuat pihak berwenang dapat menindak siapapun yang mengkritik pemerintah.
Berdasarkan undang-undang, pencemaran nama baik online dan penyebaran berita palsu dapat dihukum masing-masing hingga empat dan 10 tahun penjara.***