JURNALPALOPO.COM - Setiap Hari Raya Idul Adha selalu ada pertanyaan, bisakah kurban untuk orang yang sudah meninggal ?
Untuk itu, artikel ini akan memberikan penjelasan apa hukum kurban di Hari Raya Idul Adha bagi orang yang sudah meninggal.
Melalui artikel ini, hukum kurban di Hari Raya Idul Adha untuk orang yang sudah meninggal makin jelas, jadi kalian tak perlu lagi bertanya.
Baca Juga: Kirim Surat untuk Anaknya, Ferdy Sambo: Tuhan Akan Beri Keadilan untuk Papa dan Mama
Untuk itu, simak artikel ini agar mengetahui hukum kurban di Hari Raya Idul Adha untuk orang yang meninggal dunia.
Pertanyaan itu banyak ditanyakan keturunan atau anak yang sudah tumbuh dewasa dan sukses ingin menghadiahkan kurban untuk orang yang dicintainya namun sudah meninggal, seperti untuk kakek-nenek ataupun kedua orang tuanya.
Namun sebelum itu, kalian perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kurban secara mendasar. Seperti hukum kurban hingga tatacara kurban.
Baca Juga: Profil Adilson Silva, Predator Kotak Penalti PSM Makassar Asal Portugal
1. Hukum Kurban
Ibadah kurban di hari raya Idul Adha hukumnya adalah sunnah muakkad.
Namun Nabi Muhammad SAW tidak pernah meninggalkan ibadah ini, bahkan sejak disyariatkan sampai beliau meninggal dunia.
Sehingga dapat dikatakan kalau kurban ini wajib untuk Nabi Muhammad SAW.
Baca Juga: Agung Mannan Pilih Klub Rival, Eks Persib Bandung Bersiap jadi Tandem Yuran Fernandes
Hal ini berdasarkan pada salah satu sabda beliau yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
Artinya:
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian’’
(HR. At- Tirmidzi).
Baca Juga: Kalender Hindu Bali : Ala Ayuning Dewasa Sabtu 3 Juni 2023, Lengkap dengan Bahan Renungan
Ketentuan hukum sunnah muakkad disematkan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Sedangkan Imam Abu Hanifah menyebutkan memang bagi orang yang mampu dan tidak dalam keadaan bepergian, hukumnya wajib.
Dalam madzhab Imam Syafii, sunnah muakkad disini bersifat kifayah.
Sehingga jika dalam satu keluarga sudah ada yang berkurban dengan hewan yang cukup untuk tujuh orang, seperti sapi, kerbau dan onta.
Maka, anggota keluarga lain tidak ada tekanan berkurban lagi. Kesunnahan ini juga dibebankan kepada orang yang sudah baligh, berakal dan mampu.
Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, dalam al- Iqna’ fi halli Alfazhi Abi asy-Syuja’ mengatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya, jika tidak maka menjadi sunnah ain.
Baca Juga: Pelatih Persija Belum Puas dengan Pemain Anyarnya, Persib Bandung malah Kagetkan Bobotoh dengan Ini
Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab/ beban ibadah) adalah orang Islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.
2. Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal dengan Wasiat
Kurban untuk orang yang sudah meninggal ternyata terdapat berbagai perdebatan.
Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath- Thalibin tegas menyatakan bahwa tidak ada kurban untuk orang yang sudah meninggal, kecuali ia ketika masih hidup berwasiat.
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا
Artinya:
“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.’’
Baca Juga: Renungan dan Doa Harian Liturgi Katolik Sabtu 3 Juni 2023, Asal Usul Otoritas Yesus
Dari penjelasan di atas, jika orang yang sudah memiliki niatan untuk berkurban baik melalui nazar maupun dengan wasiat, kemudian orang tersebut meninggal dunia, maka kurban tetap sah dan wajib untuk dijalankan.
Untuk persoalan ini tentu tidak ada perdebatan lanjutan.
Namun, ada juga yang membolehkan kurban untuk orang yang meninggal tanpa harus adanya nazar dan wasiat terlebih dahulu.
Baca Juga: Bacaan Liturgi Katolik Sabtu 3 Juni 2023, Lengkap dengan Mazmur Tanggapan
3. Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal Tanpa Wasiat
Abu al- Hasan Al- Abbadi memandang bahwa berkurban termasuk amalan sedekah.
Seperti yang kita tahu bahwa sedekah yang diatasnamakan orang meninggal tetap sah dan memberikan kebaikan kepada sang mayit.
Sehingga kurban untuk orang yang sudah meninggal tetap sah.
Baca Juga: Slot Asing Penuh, Ini Daftar Lengkap Pemain PSM Makassar, Skuad Juku Eja Dianggap Paling Mengerikan
Imam Muhyiddin Syarf an- Nawawi mengatakan,
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
Artinya:
“Jikalau orang yang sudah meninggal dunia belum pernah wasiat untuk dikurbani lantas ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang sudah meninggal tersebut dari hartanya sendiri, maka menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali memeprbolehkannya. Namun begitu, menurut madzhab Maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber- taqarrub kepada Allah, sebagaimana dalam ibadah sedekah dan ibadah haji.’’
Ini menjadi pengertian kepada kita, kalau ingin berkurban untuk orang tua yang sudah meninggal atau siapapun yang telah meninggal, berarti kita mengikuti pendapat ulama yang membolehkan, seperti yang sudah djelaskan tadi.
Kurban yang dimaksudkan adalah sebagai sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia adalah sah dan bila memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama. (*)