Fetish, Apakah bisa Disembuhkan?

- 1 Agustus 2020, 14:04 WIB
Ilustrasi fetish. /Unsplash/Sonny Ravesteijn
Ilustrasi fetish. /Unsplash/Sonny Ravesteijn /Sonny Ravesteijn

JURNALPALOPO.COM - Perhatian netizen Indonesia saat ini tengah tertuju pada kasus fetish kain jarik.

Kasus ini melibatkan seorang pria bernama Gilang dan mendadak viral setelah salah seorang korban memberanikan diri untuk speak up di Twitter.

Menurut Dr. Ade Iva Wicaksono, Ahli Psikologi Sosial dari Universitas Pancasila, Gilang diduga mengalami gangguan seksual yang dikenal dengan istilah fethisistic disorder.

Baca Juga: Tertangkapnya Djoko Tjandra sebagai Bukti Keseriusan Penegakan Hukum Jokowi-Polri

Gangguan ini ditandai dengan adanya ketertarikan seksual yang sangat intense pada bagian tubuh tertentu atau pada benda tidak hidup.

"Fetishistic disorder contohnya seperti ketika seseorang terangsang (seksual araoused) melihat celana dalam wanita, bra, atau bagian tubuhnya dan selalu diiringi dengan fantasi," terang Ade via sambungan telefon, Jumat 31 Juli 2020.

"Untuk kasus Gilang, mediumnya adalah kain jarik. Itu benar membuat dia terangsang," tambahnya.

Disadur Warta Ekonomi dari Okezone, Menurut buku panduan psikologi, DSM-5 (diagnostic and statistical manual of mental disorder 5th edition), ada dua ciri atau gejala yang menunjukkan seseorang mengalami fethisistic disorder.

Baca Juga: Sembuh dari Covid-19, Presiden Brasil : Apa yang Kamu Takutkan?

Pertama, seseorang yang memiliki gangguan fetish biasanya telah mengalami dorongan atau fantasi seksual dalam kurun waktu yang cukup lama atau lebih dari 6 bulan.

Kedua, bila fantasi seksual dan perilaku fetish itu membuat seseorang terganggu, baik secara fungsi sosial dan fungsi pribadi, dapat dipastikan dia mengalami fetishistic disorder.

"Nah, untuk kasus Gilang ini kan dia sudah melanggar hukum. Berarti fungsi sosial dia sudah terganggu. Dia bisa terkena pasal di KUHP terkait pelecehan seksual yang menjurus ke pemerkosaan karena ada unsur paksaan. Kejadiannya juga sudah berlangsung lama dan terus-menerus," kata Ade.

Lantas, apakah gangguan ini bisa disembuhkan? Terkait hal tersebut, Ade menjelaskan bahwa teknik pengobatan fethisistic disorder biasanya dilakukan dengan menggunakan dua metode sekaligus, yakni therapi obat dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT).

Baca Juga: Serah Terima Terpidana, Djoko Tjandra akan Ditempatkan di Rutan Salemba

"Untuk gangguan-gangguan seperti ini ada kombinasi yang disarankan, ada therapi obat dan CBT. Tujuannya adalah untuk mengubah pola pikir si perilaku,".

"Namun, ada catatannya, dia harus berada dalam terapi jangka panjang. Kalau terapi berhenti, bisa kambuh lagi. Jadi, keduanya harus terus berjalan bersamaan dan terus-menerus," tutur Ade.

Sementara itu, menurut dr. Alvina, Sp.KJ, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, Fetishism bisa saja terjadi saat anak menjadi korban atau anak melihat perilaku seksual yang menyimpang.

Ada teori lain yang mengatakan bahwa seseorang mungkin mengalami kurangnya kontak seksual sehingga mencari pemuasan dengan cara yang lain.

Baca Juga: Psikolog Ini Bagi Tips Hindari Riset Abal-abal Seperti Kasus Predator 'Fetish Kain Jarik'

Terdapat pula teori lainnya yang mengatakan bahwa terjadi keraguan tentang maskulinitas pada laki-laki yang mengalami Fetishism atau ada rasa takut adanya penolakan sehingga dia menggunakan objek yang tidak hidup untuk memberinya kepuasan seksual.

"Secara umum, penyimpangan seksual lebih banyak dialami laki-laki daripada perempuan dan terdapat teori yang mengatakan bahwa Fetishism berkembang sejak masa kanak-kanan. Namun, ada pula yang mengatakan onset-nya adalah saat masa pubertas," ujar dr. Alvina, Sp.KJ, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa.

Untuk melakukan penyembuhan, gangguan Fetihistik bisa diterapi dengan berbagai modalitas psikoterapi baik individual maupun kelompok serta dapat dilakukan pemberian terapi obat-obatan dan hormon.

 "Untuk menghindari gangguan Fetihistik, hendaknya masyarakat menciptakan lingkungan yang ramah anak, peduli pada kesehatan anak baik secara fisik maupun mental, dan bersikap melindungi anak dari paparan kekerasan baik kekerasan fisik, mental, maupun seksual," imbuh dr. Alvina.***

 

Editor: Gunawan Bahruddin

Sumber: Warta Ekonomi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah